Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 13]
Jumat, 8 Desember 2017

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita diberi kemudahan untuk berjumpa kembali masih melanjutkan pembahasan mengenal tauhid dengan memetik pelajaran dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada bagian sebelumnya, kita telah membawakan hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengenai hak Allah atas setiap hamba. Di dalam hadits tersebut diterangkan bahwa hak Allah atas setiap hamba adalah mereka wajib beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun. Oleh sebab itu seorang hamba yang tidak beribadah kepada Allah telah melakukan kezaliman karena dia tidak menunaikan hak Allah atas dirinya.

Dengan demikian, syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Karena orang yang berbuat syirik telah menujukan ibadah kepada selain Allah di samping ibadahnya kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku kemusyrikan telah menyejajarkan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan Allah. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa tauhid adalah keadilan yang paling tinggi dan syirik merupakan kezaliman yang paling berat.

Satu hal yang perlu kita ingat bahwa syirik besar menyebabkan iman menjadi lenyap. Iman dalam keyakinan Ahlus Sunnah terdiri dari ucapan, keyakinan, dan perbuatan. Ucapan saja tidak cukup, begitu pula amal anggota badan semata. Akan tetapi harus terkumpul tiga-tiganya. Ketika seorang melakukan ketaatan maka imannya bertambah, dan ketika melakukan maksiat dan dosa maka imannya berkurang atau rusak bahkan bisa lenyap.

Pengaruh Maksiat terhadap Keimanan

Maksiat adalah ucapan, perbuatan atau keyakinan yang bertentangan dengan apa yang seharusnya dilakukan, diucapkan atau diyakini dalam timbangan syari’at Rabbul ‘alamiin. Atau singkatnya maksiat adalah sikap tidak mau taat. Maksiat itu meliputi tindakan meninggalkan perintah dan menerjang larangan. Maksiat itu bertingkat-tingkat. Ada yang besar dan ada yang di bawahnya. Sebagaimana halnya iman. Iman itu bercabang-cabang, sebanyak tujuh puluh lebih cabang. Cabang iman yang tertinggi adalah laa ilaaha illallaah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Cabang-cabang keimanan ini tidak memiliki derajat dan nilai yang sama, akan tetapi bertingkat-tingkat. Oleh sebab itulah, maka maksiatpun juga bertingkat-tingkat. Ada yang sampai membatalkan keimanan, ada yang menyurutkan, ada yang menipiskan dan ada yang menggerogotinya hingga hampir habis. Wal ‘iyaadzu billaah.

Apabila suatu kemaksiatan dilandasi dengan pendustaan dan penentangan, maka hal itu akan dapat menumbangkan pohon keimanan pada diri seseorang. Sebagaimana telah disinggung oleh Allah ta’ala tentang kisah Fir’aun, “Maka dia (Fir’aun) itu mendustakan dan durhaka/bermaksiat.” (an Nazi’aat : 21) Dan apabila seseorang terjerumus dalam dosa-dosa besar seperti berzina, meminum khamr, mencuri dan lain sebagainya maka hal itu akan menggerogoti dan melemahkan pondasi kesempurnaan iman di dalam dirinya. Sehingga rasa takut, khusyu’ dan cahaya hatinya akan sirna sebanding dengan tingkat dan frekuensi kemaksiatan yang dilakukannya. Dengan catatan hatinya masih meyakini bahwa perbuatan-perbuatan itu adalah dosa dan dia tidak menghalalkannya. Sebab kalau dia sudah berani menghalalkan kemaksiatan di dalam hatinya maka itu artinya dia telah terseret dalam arus kekafiran dan persis berada di depan pintu gerbang keluar dari Islam. Namun, apabila di dalam lubuk hatinya masih bersemayam ketulusan dan pembenaran terhadap ketetapan Allah dan Rasul-Nya kemudian dia bergegas untuk kembali taat kepada-Nya serta beramal shalih maka niscaya cahaya hati, rasa takut dan kekhusyu’an itu akan kembali menerangi relung-relung hatinya.

Akan tetapi apabila seorang hamba masih bersikeras dan ngotot untuk berbuat maksiat maka setiap kali perbuatan hina itu dilakukannya maka bertambahlah noda dan bercak hitam dosa di dalam hatinya, sampai-sampai akhirnya akan menjalar dan menutupi seluruh permukaan hati, wal ‘iyaadzu billaah. Sehingga apabila kondisinya sudah demikian parah akan terlahirlah sosok manusia bejat yang sudah tidak bisa membedakan yang ma’ruf dengan yang mungkar. Hatinya menderita rusak berat dan kaburlah pandangan matanya. Imam Ahmad dan para ulama yang lain meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya apabila seorang mukmin berbuat dosa, maka ditorehkan sebuah bercak hitam di dalam hatinya. Apabila dia bertaubat, meninggalkan maksiat itu dan memohon ampunan maka hatinya akan kembali bersih. Akan tetapi apabila dia justru menambah maksiat maka bercak hitam itupun akan semakin banyak hingga akhirnya hatinya menjadi pekat diliputi olehnya. Itulah Raan/bercak sebagaimana disebutkan di dalam ayat Allah ‘azza wa jalla, “Sekali-kali tidak, itulah Raan yang meliputi hati mereka sebagai akibat dari apa yang telah mereka perbuat.” (al Muthaffifiin : 14).” (HR. Ahmad 2/297)

Demikianlah, iman itu laksana sebuah pohon yang rindang. Dia memiliki benih dan akar yang tertanam di dalam tanah, batang yang kokoh menjulang, ranting serta dedaunan yang semakin menambah elok penampilan. Benih keimanan itu adalah pembenaran (terhadap wahyu) dan ketulusan hati. Dengan benih itulah hati akan hidup dan bertahan. Sementara cabang-cabangnya adalah amal. Dengan sebab amal itulah keimanan di dalam hati akan bertambah subur, kokoh terhunjam dan terus bertahan hidup. Setiap kali cabangnya bertambah banyak maka semakin elok dan sempurnalah pohon keimanan dalam diri seseorang. Akan tetapi apabila cabang-cabang itu telah patah dan berjatuhan satu demi satu, ranting dan dedaunannya juga ikut rontok dan layu maka pohon itu semakin tampak jelek dan tidak sedap dipandang, bahkan sudah hilanglah ciri-ciri kehidupan darinya. Sehingga apabila sudah tidak tersisa satu batang pun maka pohon itu pun kehilangan jati dirinya. Dan apabila benih itu tidak kunjung menumbuhkan batang baru dan cabang harapan, maka pasokan energi dari cahaya matahari tak lagi dia dapatkan. Sehingga diapun mengering dan diam membisu terkubur di dalam timbunan tanah. Maka seperti itulah kurang lebih permisalan tentang kemaksiatan yang akan merusak citra dan jati diri sebuah pohon rindang yang bernama keimanan. Lalu siapakah yang mau, siapakah yang rela kehilangan citra dan jati diri bahkan kehilangan nafas dan ruh kehidupannya ? (disadur dari at Tauhid li shaffits tsaani ‘aali, hal. 27-28)

Urgensi Tauhid dan Sunnah Nabi

Oleh karena itulah kebutuhan seorang hamba untuk bertauhid kepada Allah adalah kebutuhan primer paling urgen di dalam hidupnya, jauh lebih penting dan lebih mendesak daripada kebutuhan sel-sel tubuh terhadap pasokan energi dari makanan maupun minuman, bahkan dari oksigen sekalipun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya kebutuhan hamba terhadap ibadah kepada Allah tanpa mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya merupakan kebutuhan yang tak tertandingi oleh apapun yang bisa dianalogikan dengannya. Akan tetapi dari sebagian sisi ia bisa diserupakan dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Di antara keduanya sebenarnya terdapat banyak sekali perbedaan. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba adalah pada hati dan ruhnya. Padahal tidak ada kebaikan baginya (hati dan ruh) kecuali dengan (pertolongan) Tuhannya, yang tiada ilah (sesembahan) yang hak selain Dia. Sehingga ia tidak akan bisa merasakan ketenangan kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya seorang hamba bisa memperoleh kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan terus menerus terasa. Akan tetapi ia akan berpindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dari satu individu ke individu yang lain. Adapun tuhannya, maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam setiap keadaan dan di setiap waktu. Dimanapun dia berada maka Dia (Allah) senantiasa menyertainya” (Majmu’ Fatawa, I/24, dikutip dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih al Fauzan, hal. 43)

Demikian juga kebutuhan umat manusia terhadap bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Peranan Risalah adalah sangat urgen demi kebaikan hamba di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana halnya dia tidak akan bisa meraih kebaikan di akhirat tanpa mengikuti bimbingan Risalah, maka demikian pula tidak akan ada kebaikan baginya dalam menjalani kehidupan dunianya kecuali dengan cara mengikuti risalah. Karena sesungguhnya manusia memang sangat membutuhkan tuntunan syari’at.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Risalah adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh hamba, mereka tidak bisa tidak harus mengikutinya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas kebutuhan mereka terhadap apapun. Risalah adalah ruh, cahaya dan hakikat kehidupan alam semesta. Maka kebaikan macam apakah yang akan bisa dicapai apabila alam semesta telah kehilangan ruh, hakikat kehidupan dan cahaya ? Dunia ini selalu diliputi kegelapan dan layak untuk dilaknat kecuali belahan dunia dimana matahari risalah telah terbit dan bersinar di sana. Maka demikian pula keberadaan seorang hamba. Selama di dalam hatinya belum memancar cahaya matahari risalah sehingga dia bisa mereguk kehidupan dan merasakan gejolak ruhnya, maka sebenarnya dirinya masih terliputi oleh kegelapan, dan dia tergolong orang-orang yang telah menjadi bangkai (yang berjalan, red). Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Apakah orang yang telah menjadi mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan dia, dan Kami curahkan cahaya untuk menyinari jalannya di tengah umat manusia sama keadaannya dengan orang lain sepertinya yang terus berada dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya.” (al An’aam : 122).” (Majmu’ Fatawa, 19/99 dan 93. dinukil dari Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 78)

Sebab-sebab Bertambahnya Keimanan

Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah :

Pertama; Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat.

Kedua; Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin bertambah kuat.

Ketiga;.Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada amal sunnah apabil ditinjau dari jenisnya. Begitu pula ada sebagian amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar. Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat bertambahnya keimanan.

Keempat; Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 104-105)

Sebab-sebab Berkurangnya Keimanan

Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut :

Pertama; Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya

Kedua; Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang merasuki hati dan sekujur tubuhnya.

Ketiga; Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat. Oleh karena itulah iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil.

Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat.

Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong.

Keempat; Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali.

Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya. Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa karena meninggalkannya, seperti : meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban karena udzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)

Saudaraku, Waspadalah!

Banyak orang yang mengira dirinya berada di atas kebaikan dan dia termasuk orang yang selamat dan pemilik kebahagiaan pada hari kiamat disebabkan apa yang dilihatnya berupa nikmat-nikmat Allah yang dicurahkan kepadanya selama di dunia sehingga dia mengatakan, “Seandainya bukan karena Allah ‘Azza wa Jalla ridha kepadaku niscaya Dia tidak akan menganugerahkan nikmat-nikmat ini”.

Si miskin ini meyakini kalau nikmat-nikmat ini datang dengan sebab kecintaan Allah kepadanya, dan dia merasa akan mendapat pemberian di akhirat yang lebih baik dari itu semua, padahal dia senantiasa bergelimang dalam kemaksiatan terhadap Allah, terjerumus dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah dan ini merupakan sikap terperdaya/ghurur yang banyak manusia terjatuh ke dalamnya, bahkan kebanyakan masyarakat tertipu karenanya.

Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila kamu melihat Allah ‘Azza wa Jalla melimpahkan kepada seorang hamba segala sesuatu yang disukainya di dunia sementara dia bergelimang kemaksiatan maka sesungguhnya itu adalah istidraaj” kemudian beliau membaca firman Allah Ta’ala yang artinya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kamipun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (al An’aam : 44) (Hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan al Albani).

Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Apabila kamu melihat Allah terus menurunkan nikmat-Nya kepadamu sementara kamu bergelimang kemaksiatan kepada-Nya maka waspadalah, karena sesungguhnya itu adalah istidraaj yang ditimpakan kepadamu”.

Allah telah membantah orang yang menyimpan persangkaan seperti ini dengan firman-Nya yang artinya, “Adapun manusia jika Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya dia berkata Rabbku telah memuliakanku, adapun jika Rabbnya mengujinya dengan membatasi rizkinya dia berkata Rabbku telah menghinakan aku, sekali-kali tidak demikian” (al Fajr : 15-17) artinya tidak semua orang yang Ku-karuniai nikmat (duniawi) dan Ku-lapangkan rizkinya pasti orang yang Ku-muliakan, dan tidak setiap orang yang Ku-uji dan Ku-sempitkan rizkinya pasti orang yang Ku-hinakan, akan tetapi sebenarnya Aku sedang menguji orang yang satu ini dengan nikmat-nikmat dan Aku memuliakan orang yang satunya dengan memberikan ujian kepadanya (dinukil dari ‘Isyruuna ‘uqbatan fii thariiqil muslim)

Meneguhkan Iman

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menuturkan bahwa iman adalah perkara yang paling berharga di tengah alam nyata dan sebuah perbendaharan paling mahal di dunia ini. Barangsiapa kehilangan iman maka sungguh dia telah kehilangan kehidupan yang hakiki (lihat Tajdid al-Iman, hal. 3)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah berlebihan apabila kita berdoa kepada Allah setiap hari untuk diberi hidayah. Karena hidayah itulah yang akan menjaga diri kita untuk tetap tegar di atas iman dan islam. Betapa banyak goncangan dan rintangan yang menghadang ketika seorang berjalan di atas rel kebenaran. Sedikit yang bisa bertahan dan terus berjalan melanjutkan perjalanan di jalan iman. Untuk itu doa kepada Allah adalah sebuah kebutuhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iman benar-benar bisa menjadi luntur di dalam rongga tubuh kalian sebagaimana halnya baju yang menjadi lusuh. Oleh sebab itu mohonlah kepada Allah agar memperbaharui iman di dalam hati kalian.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)

Salah satu bekal yang penting dimiliki bagi penempuh jalan kebenaran itu adalah ilmu agama. Itulah yang terkandung dalam doa kita meminta hidayah kepada Allah setiap harinya. Karena hidayah itu ada dua bagian; hidayah berupa ilmu dan hidayah berupa amalan. Setelah diberi ilmu maka kita juga butuh untuk diberi taufik dan kemampuan untuk bisa beramal. Sehebat apa pun anda, maka hidayah itu di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Adapun sekedar memberitahu dan berbagi ilmu ya memang bisa dilakukan oleh manusia. Akan tetapi hidayah berupa taufik di tangan Allah.

Dengan begitu kita bisa mengetahui bahwa setiap kita tanpa terkecuali butuh untuk diberi keteguhan di dalam iman dan islam. Sebagaimana doa yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa dinik’ yang berarti, “Wahai dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Doa ini memberi pelajaran kepada setiap muslim, bahwa dia butuh bantuan dan pertolongan Allah untuk menjaga hatinya. Dia butuh kepada Allah agar menyelamatkan hatinya dari tipu daya dan bujuk rayu setan.

Seorang sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu pun berdoa kepada Allah yang berbunyi ‘Allahumma zidnii iimaanan wa yaqiinan wa fiqhan’ yang artinya, “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku iman, keyakinan, dan kepahaman.” (lihat Tajdid al-Iman, hal. 4)

Kita tidak bisa mengelak bahwa iman kita butuh untuk ditambah, kita juga butuh diberi tambahan keyakinan dan pemahaman terhadap agama. Bahkan itulah kebutuhan kita semua. Dengan bertambahnya iman akan membuat kita semakin tegar dalam menghadapi berbagai bentuk cobaan dan godaan. Dan dengan pemahaman akan membukakan kepada kita pintu penghambaan.

Merenungkan ayat-ayat al-Qur’an adalah salah satu metode untuk menambah pemahaman dan memperkuat keimanan. Oleh sebab itu Allah menyebutkan diantara ciri kaum beriman adalah apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah imannya. Hal itu tidak lain karena al-Qur’an berisi banyak kebaikan. Oleh sebab itu al-Qur’an disifati penuh dengan berkah.

Allah berfirman (yang artinya), “Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu lagi penuh dengan keberkahan, supaya mereka renungkan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang memiliki akal pikiran mau mengambil pelajaran.” (Shaad : 29)

Oleh sebab itu mempelajari al-Qur’an dengan baik dan mengajarkannya merupakan pintu kebaikan yang sangat besar dan jembatan kokoh untuk memasuki istana keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu)

Bacaan al-Qur’an itu sendiri adalah bagian dari dzikir kepada Allah. Sebagaimana kita ketahui bahwa dzikir merupakan benteng yang melindungi diri seorang muslim dari keburukan. Sebagaimana dzikir adalah pemberi ketenangan bagi hati. Dzikir pun menjadi sebab datangnya pertolongan dan bantuan dari Allah. Bahkan dzikir itulah sebab hidupnya hati. Sehingga Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang senantiasa mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Pentingnya dzikir itu bagi hati sampai-sampai dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa dzikir bagi hati laksana air bagi ikan, bagaimana kiranya keadaan si ikan apabila ia terpisahkan dari air? Tentu bisa jadi ia akan mati. Banyak berdzikir kepada Allah adalah amalan yang sangat agung, sehingga Allah menjanjikan bagi kaum lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah bahwa mereka akan disediakan ampunan dan pahala yang sangat besar.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari sini kita bisa mengerti betapa besar butuhnya kita kepada doa, kepada hidayah, kepada ilmu, kepada bantuan dan pertolongan Allah, dan besarnya kebutuhan kita kepada ilmu, al-Qur’an, dan dzikir kepada-Nya. Dan itu semua ternyata telah terangkum dan tertata rapi di dalam sholat lima waktu yang kita kerjakan setiap harinya. Bukankah ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya?

Sholat lima waktu yang kita kerjakan adalah amalan yang sangat agung. Ia merupakan rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat. Sholat yang dilakukan dengan hati yang hadir dan penuh kekhusyu’an tentu akan membuahkan kekuatan iman dan berlipatgandanya ganjaran. Lebih dari itu sholat pun akan bisa memberikan pengaruh positif dalam kehidupan insan. Karena sholat yang sebenarnya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Oleh sebab itu Allah menyebutkan salah satu sifat utama kaum yang bertakwa -sebagaimana disebutkan di awal surat al-Baqarah- adalah mereka yang senantiasa mendirikan sholat. Sebaliknya, Allah pun menerangkan salah satu sifat kaum munafik adalah mereka itu malas untuk mendirikan sholat dan hanya ingin mencari pujian dan sanjungan dari manusia dengan ibadahnya. Akhirnya hal itu membuat dzikir yang mereka lakukan sangatlah sedikit. Sedikitnya dzikir mereka membuat mereka selalu menyimpan penyakit keraguan dan bimbang terhadap kebenaran.

Bercokolnya penyakit-penyakit hati itulah yang menghalangi manusia dari taufik dan hidayah Allah. Semakin banyak penyakit hati di dalam dirinya maka semakin sulit hidayah itu masuk dan menampakkan pengaruhnya. Oleh sebab itu Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarkan kepada kita untuk berdoa kepada Allah agar dibersihkan jiwanya. Doa itu berbunyi ‘Allahumma aati nafsii taqwaahaa, wa zakkihaa, anta khairu man zakkaaha.. anta waliyyuhaa wa maulahaa’ yang artinya, “Ya Allah, berikanlah kepada diriku ketakwaan, dan sucikanlah ia, sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik dalam membersihkannya, Engkau lah penguasa dan penolong baginya.” (HR. Muslim)

Ketentraman yang sempurna dan hidayah yang sempurna hanya akan diberikan kepada mereka yang menjaga imannya dari segala bentuk kezaliman. Pokok keimanan itu adalah tauhid sementara perusaknya yang paling berat adalah syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka pula yang diberi petunjuk.” (al-An’aam : 82)

Mengenal Hakikat Iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah termasuk cabang iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pokok-pokok keimanan adalah amalan-amalan hati, karena tidaklah bermanfaat amalan lahiriah tanpa dilandasi keyakinan dan keikhlasan dari dalam hati. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh malaikat Jibril yang datang dalam bentuk manusia lalu menanyakan tentang iman, beliau menjawab bahwa iman itu adalah, “Kamu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim)

Para ulama salaf menegaskan bahwa iman itu mencakup ucapan dan amalan. Ucapan hati dan ucapan lisan serta amalan hati dan amal anggota badan. Iman bertambah dengan amal salih dan ketaatan serta berkurang akibat maksiat dan kedurhakaan. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah takutlah hati mereka, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan kepada Rabbnya mereka bertawakal.” (al-Anfal : 2)

Iman itu sendiri adalah amal dengan makna yang luas. Oleh sebab itu ketika ditanya oleh sebagian sahabatnya mengenai amal apakah yang paling utama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman kepada Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari). Sebagaimana amal anggota badan adalah bagian dari iman secara syar’i. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an Allah menyebut sholat dengan iman. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Allah sama sekali tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.” (al-Baqarah : 143). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘iman’ dalam ayat ini adalah sholat yang dilakukan oleh kaum muslimin sebelum perpindahan kiblat. Maksudnya Allah tidak akan menyia-nyiakan amal sholat mereka.

Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa istilah iman dan islam apabila bertemu memiliki makna sendiri-sendiri. Iman mencakup amalan batin sementara islam mencakup amalan lahir. Namun apabila islam dan iman terpisah -tidak disebutkan dalam satu konteks pembahasan- maka islam sudah mencakup iman, begitu pula iman telah mencakup islam. Misalnya, Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanya Islam.” (Ali ‘Imran : 19). Istilah islam di sini sudah mencakup amalan batin maupun amalan lahir. Artinya orang yang diterima keislamannya adalah orang yang beriman secara lahir dan batin, bukan kafir dan bukan munafik.

Dengan demikian ayat yang sering kita dengar ketika khutbah Jum’at (yang artinya), “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Ali ‘Imran : 102) mengandung perintah untuk beriman secara lahir dan batin. Karena syarat untuk masuk surga adalah beriman secara lahir dan batin. Oleh sebab itu Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah ‘janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan beriman’ (lihat tafsir al-Baghawi yang berjudul Ma’alim at-Tanzil, hal. 229)

Iman juga tidak cukup hanya dengan amalan hati. Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi hakikat iman itu adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” Oleh sebab itu orang yang benar-benar beriman adalah yang mengucapkan keimanan dengan lisan (bersyahadat), menyakininya di dalam hati, dan beramal dengan anggota badan. Barangsiapa mencukupkan diri dengan ucapan lisan dan pembenaran hati tanpa melakukan amalan maka dia bukanlah pemilik keimanan yang benar (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘ala al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 145)

Iman itu sendiri tidak akan terwujud dan sempurna kecuali dengan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya. Oleh sebab itu hijrah kepada Allah dan rasul-Nya menjadi kewajiban bagi setiap individu di sepanjang waktu. Yang dimaksud di sini adalah hijrahnya hati seorang hamba menuju Allah dan rasul-Nya. Inilah hijrah yang sebenarnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hijrah ini mencakup hijrah dengan hati dari kecintaan kepada sesembahan selain Allah menuju kecintaan kepada Allah, hijrah dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah, hijrah dari takut, harap, dan tawakal kepada selain Allah menuju takut, harap, dan tawakal kepada Allah, hijrah dari berdoa dan tunduk kepada selain Allah menuju doa dan tunduk kepada Allah. Inilah yang disebut dengan al-firar ila Allah (berlari menuju Allah) sebagaimana diperintahkan dalam ayat (yang artinya), “Maka berlarilah kalian menuju Allah.” (adz-Dzariyat : 50) (lihat ar-Risalah at-Tabukiyah, hal. 16 cet. Dar ‘Alam al-Fawa’id)

Hijrah menuju Allah mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah dan mewujudkan segala perkara yang dicintai dan diridhai oleh-Nya. Sumber dari hijrah ini adalah rasa cinta dan benci. Dimana orang yang berhijrah meninggalkan apa-apa yang dibenci oleh Allah menuju apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah. Sehingga dia lebih mencintai apa yang menjadi tujuan hijrahnya daripada asal dia berhijrah. Dalam menempuh hijrah ini setiap hamba harus berhadapan dengan tiga musuh; dirinya sendiri, hawa nafsu, dan setan. Dan untuk bisa berhasil setiap insan harus berjuang menaklukkan musuh-musuhnya itu di sepanjang waktu. Oleh sebab itu setiap orang wajib berhijrah kepada Allah di sepanjang waktu. Dia tidak akan terlepas dari segala bentuk hijrah ini sampai kematian datang (lihat ar-Risalah at-Tabukiyah, hal. 20)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dengan demikian seorang yang hendak meniti jalan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya tidak bisa tidak harus belajar ilmu agama. Dengan memahami agama Islam inilah dia akan bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara kebaikan dan keburukan, antara iman dan kekafiran, antara tauhid dan kesyirikan, antara sunnah dan bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah akan pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sungguh benar ucapan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu diperlukan sebanyak hembusan nafas.” Tidak kita pungkiri bahwa manusia butuh makan dan minum. Namun yang memprihatinkan adalah ketika kebutuhan makan dan minum jauh lebih diutamakan di atas kebutuhan ilmu dan iman.

—-


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-13/